sumber gambar, ANTARA FOTO
Aparat kepolisian memeriksa kandang manusia di kediaman pribadi Bupati Langkat. Rencana Penerbitan Waran di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (26/1/2022).
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut mengatakan, penyidikan kasus dugaan kekerasan dan perbudakan di kandang manusia di rumah Bupati Langkat berjalan lambat.
Aktivis Kontras, Adinda Zahra Noviyanti, mengatakan lambatnya penanganan kasus ini antara lain dipicu oleh dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri dalam kekerasan di dalam kandang.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution mengatakan, tarik menarik kekuatan politik lokal yang dimiliki Bupati Langkat nonaktif, Terbit Angin-Angin Plan, juga berpengaruh dalam kasus ini.
“Bahwa ada oknum-oknum yang terlibat, termasuk TNI-Polri, ormas dan aparat setempat, agak mempengaruhi proses hukum dalam kasus ini,” kata Maneger kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/3).
LPSK menduga “ada lagi” personel TNI-Polri yang diduga terlibat dalam operasi kurungan manusia sejak 2010, yang juga harus diusut tuntas. Sementara itu, temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan bahwa anggota TNI dan Polri diduga terlibat dalam tindak kekerasan.
Komnas HAM juga menyebut Bupati Terbit sebagai “aktor oligarki lokal”, sehingga aparat penegak hukum “mengabaikan” perbudakan dan penganiayaan di dalam kurungan selama belasan tahun.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan telah memberikan nama 19 orang, termasuk anggota TNI dan Polri, yang diduga sebagai pelaku kekerasan.
Namun, polisi belum menetapkan tersangka hingga Minggu (13/3) sejak petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan rumah Bupati Terbit pada 19 Januari 2022.
Kabag Humas Polda Sumut Kompol Hadi Wahyudi membantah anggapan penanganan kasus ini lamban.
Ia juga membantah tudingan bahwa proses penyidikan dipengaruhi oleh keterlibatan anggota TNI-Polri dan kekuatan politik Bupati Terbit.
“Tidak ada seperti itu. Penyidik bekerja secara profesional dan sesuai fakta. Anggota yang terlibat tidak akan ragu untuk mengambil tindakan,” kata Hadi kepada BBC News Indonesia.
Mengapa kasus ini dianggap lambat?
sumber gambar, ANTARA FOTO
Tersangka Bupati Langkat Tidak Aktif Publikasikan Rencana Perang Angin masuk ke ruangan di gedung KPK, Jakarta, Senin (7/2/2022).
Adinda Zahra Noviyanti dari Kontras Sumut mengatakan, polisi seharusnya memiliki bukti yang cukup, berdasarkan temuan lapangan dan keterangan saksi, untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Namun, hampir dua bulan sejak kandang manusia pertama kali terungkap ke publik, polisi masih belum menetapkan satu pun tersangka.
Bahkan, Komnas HAM dan LPSK juga telah merilis hasil penyelidikan mereka yang menunjukkan bahwa “kekerasan, perbudakan, kerja paksa, dan perdagangan manusia memang terjadi” di dalam kandang.
“Barang bukti juga sudah disita polisi, sehingga kami rasa polisi sebenarnya punya cukup bukti untuk menetapkan setidaknya satu tersangka dalam kasus ini,” kata Adinda.
Kontras menyebut dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri menjadi salah satu faktor yang memicu lambannya penanganan kasus ini.
“Dalam banyak kasus yang ditangani Kontras, ketika kasus melibatkan personel TNI-Polri, pasti ada keengganan untuk menyelesaikan kasus tersebut,” kata Adinda.
Dalam hal ini, dia mendesak Polri untuk transparan mengungkap keterlibatan anggotanya yang diduga terlibat.
“Jangan sampai menjadi pertanyaan besar, mengapa pada akhirnya, dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, orang-orang di kepolisian dan TNI, orang-orang yang memiliki kekuasaan, dalam hal ini kasus kandang Lahat, proses penetapan tersangka sangat sulit. lambat,” katanya.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution juga mempertanyakan mengapa polisi tidak menetapkan satu pun tersangka dan menyebut penanganan kasus ini “terasa lamban”.
Bahkan para korban dan saksi yang melapor ke LPSK belum dimintai keterangan oleh polisi.
“Hingga saat ini proses hukumnya belum dilakukan, sehingga hak-haknya belum kami penuhi[witnesses]misalnya kalau dipanggil dan dimintai keterangan, kita dampingi sampai sidang, tapi sampai sekarang tidak ada,” kata Maneger.[saksi[belumsemuakamipenuhimisalnyakalaumerekadipanggildandimintaiketerangankamidampingisampaimerekapersidangantapisampaisekarangbelumada”ujarManeger[saksi[belumsemuakamipenuhimisalnyakalaumerekadipanggildandimintaiketerangankamidampingimerekasampaipersidangantapisampaisekarangbelumada”ujarManeger
Apa dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri?
sumber gambar, ANTARA FOTO
Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam (tengah) dan Beka Ulung Hapsara (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait hasil pemantauan dan penyidikan terkait kasus kandang manusia di kediaman bupati Langkat inaktif, di Kantor Komnas HAM, Jakarta , Rabu (2/3/2022) .
Dalam hasil pemeriksaan yang dirilis awal Maret lalu, Komnas HAM menyebutkan ada beberapa anggota TNI-Polri di antara 19 orang yang diduga ikut serta dalam aksi kekerasan di dalam kandang tersebut.
Selain itu, Komnas HAM menemukan bahwa “ada anggota Polri yang menyarankan agar warga setempat yang melakukan tindak pidana dimasukkan ke dalam kurungan bukan ditangani polisi”.
Komnas HAM telah menyampaikan nama dan jajaran anggota TNI-Polri yang diduga terlibat ke Polri dan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan indikasi keterlibatan mereka juga terlihat dari bagaimana penegak hukum “jelas mengabaikan” praktik perbudakan dan kekerasan selama belasan tahun.
“Kenapa ada pengabaian, entah menikmatinya, atau takut karena dia tahu ada kekuatan yang lebih besar yang melindunginya, jadi mereka mencari keselamatan.”
“Dia (petugas) melihat kandangnya sendiri, bahkan melakukan kekerasan di dalam kandang. Bagaimana bisa petugas datang ke sana secara teratur jika dia tidak mendapatkan apa-apa, itu tidak mungkin. Sekarang mereka hanya perlu bukti lebih lanjut,” kata Taufan kepada BBC Berita Indonesia, Minggu (13/3).
Kasus perbudakan dan kekerasan ini, lanjutnya, juga menunjukkan bahwa ada “kejahatan bisnis” yang lebih besar yang dilakukan oleh Bupati Terbit, yang jelas-jelas diketahui oleh aparat penegak hukum namun tidak pernah ditindak.
Sebab, dia menyebut Bupati Terbit sebagai “aktor oligarki lokal” sekaligus “ninja sawit”, istilah lokal untuk mafia sawit, “yang punya jaringan kuat dengan aparat TNI-Polri”.
Selain itu, Terbit juga merupakan tokoh dari organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila. Kakak Terbit, Sribana Warin-angin, juga menjadi Ketua DPRD Kabupaten Langkat.
Namun, setelah kasus itu terungkap, Taufan mengatakan Polri dan TNI “berkomitmen” untuk mengusut tuntas, dan sejauh ini “tidak ada perlawanan” dalam proses penyidikan.
Komnas HAM, kata dia, akan terus memantau proses hukum kasus ini.
Sementara itu, LPSK menduga jumlah anggota TNI-Polri yang terlibat selama belasan tahun terakhir “lebih dari perkiraan saat ini”.
LPSK juga memperkirakan Bupati Terbit “mendapatkan hingga Rp 177,5 miliar dengan mempekerjakan ratusan orang tanpa bayaran dalam 12 tahun terakhir untuk bisnis kelapa sawit ilegalnya”.
Bagaimana perkembangan kasus ini di kepolisian?
sumber gambar, ANTARA FOTO
Sejumlah korban kandang manusia di kediaman pribadi Bupati Langkat, menerbitkan Surat Perintah Rencana, mengantre mengikuti penilaian yang digelar BNN Provinsi Sumut di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumut, Rabu (26/1/2022).
Polda Sumut membantah anggapan lambannya penanganan kasus ini dipicu keterlibatan anggota TNI-Polri.
Kabag Humas Polda Sumut Kompol Hadi Wahyudi mengatakan, baru empat anggota Polri yang diperiksa oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Direktorat Reserse Kriminal Umum untuk mengusut dugaan pelanggaran etik dan pidana yang dilakukan.
“Kalau anggota Polri terlibat, pimpinan tidak segan-segan menindak, bahkan sekarang sudah kita tindak lanjuti dengan penyelidikan, nanti kita sampaikan sejauh mana dugaan keterlibatan anggota,” kata Hadi.
Ia juga membantah tudingan bahwa “kekuasaan” Bupati Terbit memperlambat proses penyidikan. Hadi mengklaim bahwa kemajuan penyelidikan telah berjalan “signifikan dan sangat cepat”.
“Tidak, kami tidak ikut campur dalam urusan politik. Kami bekerja secara profesional, termasuk keluarga bupati, ormas, bahkan KPK,” katanya.
Polisi sejauh ini telah memeriksa 75 saksi dari tiga laporan polisi yang diproses terkait kematian tiga korban penghuni kandang. Otopsi dan penggalian jenazah kedua korban juga telah dilakukan.
Hadi mengaku penyidik telah mengantongi nama-nama orang yang berpotensi kuat menjadi tersangka, namun polisi belum menetapkan mereka karena “ingin mengungkap keseluruhan kasus”.
“Kami tidak ingin mengungkap peristiwa yang justru mengarah pada dugaan pelanggaran HAM dan kemudian hanya berkutat pada tersangka yang melakukan penganiayaan,” kata Hadi.
Apa dampaknya bagi korban dan saksi?
LPSK menyatakan lambatnya penanganan kasus akan membuat banyak saksi dan korban enggan memberikan keterangan, karena merasa tidak ada kepastian hukum dan jaminan keamanan dari negara.
Menurut Maneger Nasution, hingga saat ini “masih sedikit” saksi dan korban yang mau memberi keterangan dan meminta perlindungan kepada LPSK.
Meski kasus ini menjadi sorotan nasional, dia mengatakan ketakutan para saksi dan korban untuk mau melapor masih terasa hingga saat ini.
“Semakin cepat diproses, ini bisa menjadi penguatan bagi korban dan saksi bahwa jika pelaporan bermanfaat, keamanan juga akan terjaga,” ujarnya.
Selain itu, lambatnya penanganan kasus ini membuat kehadiran negara dalam pemulihan saksi dan korban tidak maksimal.
“Yang seharusnya diterima oleh semua saksi dan korban, tapi karena tidak semua laporan, haknya tidak bisa diberikan oleh negara,” kata Maneger.
Komnas HAM sebelumnya telah meminta penegak hukum untuk menentukan berapa banyak orang yang menjadi korban kurungan manusia tersebut.
sumber gambar, Kompas.com/Dok. Polda Sumut
Tim gabungan Polda Sumut saat menyambangi kandang belakang rumah Bupati Langkat nonaktif, terbitlah Rencana Perang Angin.
Kondisi terakhir saat ditemukannya kandang oleh petugas KPK, ada 57 orang yang menghuninya. Padahal sebelumnya, polisi menyebut jumlah penduduk sudah mencapai 656 orang sejak 2010.
Komnas HAM juga memperkirakan korban tewas mencapai enam orang, namun sejauh ini polisi baru menyelidiki tiga laporan kematian korban.
Untuk mempercepat penanganan kasus ini di tengah “tarik-tarik” di tingkat lokal, LPSK menyarankan agar pemerintah pusat turun tangan, bahkan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.
“Penanganan yang lambat dan berlarut-larut tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian di tempat lain tidak akan terungkap, karena dianggap tidak berguna untuk diungkapkan,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Komnas HAM menyatakan telah terjadi 12 bentuk pelanggaran HAM terhadap penghuni kandang melalui praktik perbudakan dan kekerasan berpola.
Komnas HAM juga menemukan ada 26 jenis kekerasan yang terjadi, seperti dipukul, ditampar, ditendang, dilempar ke kolam ikan, disuruh bergelantungan di kerenng seperti monyet atau yang mereka kenal dengan istilah “monyet gantung”.
Para korban juga dipekerjakan tanpa bayaran di sejumlah perkebunan kelapa sawit, termasuk milik Bupati Terbit, tanpa bayaran.
Sementara itu, hasil penyelidikan LPSK menemukan dugaan perdagangan manusia, pembunuhan, dan penganiayaan berat.
Bahkan, ada korban yang mengaku “dipaksa minum air seni hingga mengalami kekerasan seksual seperti sodomi”.