sumber gambar, ANTARA FOTO
Pemerintah menaikkan harga Pertamax dari Rp. 9.000 menjadi Rp. 9.400 per liter menjadi Rp. 12.500 sampai Rp. 13.000 per liter, mulai Jumat (1/4/2022).
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto menilai kenaikan harga Pertamax semakin memberatkan masyarakat, di tengah daya beli yang tertekan akibat kenaikan harga bahan pokok dan pajak pertambahan nilai. TONG).
Kenaikan harga Pertamax berlaku efektif mulai Jumat (01/04) dari Rp. 9.000 menjadi Rp. 9.400 per liter menjadi Rp. 12.500 sampai Rp. 13.000 per liter.
Di media sosial, sejumlah warganet mengeluhkan kenaikan tersebut. Beberapa di antaranya berencana beralih menggunakan Pertalite mengingat harganya disubsidi, sehingga tetap Rp 7.650 per liter.
Sementara itu, sejumlah pengguna media sosial lainnya mengaku kesulitan mencari Pertalite di beberapa SPBU karena harga Pertamax dikabarkan naik.
INDEF mengatakan, meski harga Pertalite stagnan karena disubsidi pemerintah, namun implikasi kenaikan harga Pertamax masih akan terasa.
Eko memprediksi kenaikan harga Pertamax akan membuat sebagian masyarakat beralih ke Pertalite yang selisih harganya sekitar Rp. 3.500-Rp. 3.600 per liter.
Eko mengatakan tidak semua masyarakat mampu menanggung selisih harga di tengah kenaikan harga bahan pokok, serta kenaikan PPN yang berdampak pada harga token listrik dan kredit.
“Akhirnya perburuan Pertalite ada dimana-mana, kalau jarang, suka tidak suka, orang akan tetap mengkonsumsi Pertamax juga. Implikasinya daya beli masyarakat semakin tertekan,” kata Eko kepada BBC News Indonesia.
Di sisi lain, Pjs Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengatakan kenaikan harga Pertamax “tidak bisa dihindari” karena kenaikan harga minyak dunia.
Bahkan kenaikan harga saat ini, kata Irto, masih mempertimbangkan daya beli masyarakat dan sebenarnya masih di bawah harga sebenarnya yang seharusnya mencapai Rp. 16.000.
‘Jika Pertalite menjadi langka, kami akan terpengaruh’
sumber gambar, ANTARA FOTO
Seorang pengguna ojek online bernama Taufik, 45, mengaku harus mengantri selama 20 menit pada Jumat (01/04) saat hendak membeli Pertalite di sebuah SPBU di kawasan Jakarta Barat. Sedangkan untuk pembelian Pertamax tidak ada antrian.
Taufik mengandalkan Pertalite untuk beroperasi sebagai sopir ojek karena harganya lebih murah. Biasanya Taufik tidak perlu mengantri untuk mendapatkan Pertalite.
“Kalau orang pindah ke Pertalite terus langka, kita yang akan terkena dampaknya. Bagaimana kita bisa menggunakan Pertamax, bukan cover (modal),” kata Taufik saat ditemui BBC News Indonesia.
“Menunggu antrean seperti ini sudah repot karena waktu kita terbuang percuma, apalagi saat ada pesanan (order), tidak semua pelanggan mau menunggu,” lanjutnya.
Sementara itu, pengendara ojek online lainnya bernama Masta Wijaya, 43, mengatakan biasanya mengisi bahan bakar sepeda motornya dengan Pertamax setidaknya seminggu sekali “untuk menjaga kualitas mesin sepeda motor”.
Sedangkan di hari lain, Masta biasanya menggunakan Pertalite yang lebih hemat.
Kenaikan harga ini membuat Masta berpikir ulang untuk menggunakan Pertamax, meski hanya seminggu sekali. Apalagi kenaikan itu berbarengan dengan kenaikan harga pangan dan PPN yang baginya sudah cukup memberatkan.
“Kemarin minyak goreng naik, sekarang pajak dan Pertamax juga naik. Semuanya naik bersamaan, sudah susah tambah susah. Mau tidak mau saya harus bekerja lebih keras, tarik dari pagi sampai malam, ” ucap Masta.
Saat ini, Masta bahkan harus bekerja mencari pelanggan ojek online dari empat aplikasi sekaligus untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sementara itu, seorang warga Bekasi, Ika Defianti, 30 tahun, mengatakan akan tetap menggunakan Pertamax meski harganya naik. Namun, kata Ika, hal itu tentu akan menguras pos anggarannya yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain.
“Mau bagaimana lagi, saya sudah terbiasa menggunakan Pertamax karena itu juga lebih baik untuk mesin.”
“Uang jajan pasti berkurang karena ini, kalau dulu pertamax full Rp 30 ribu, sekarang bisa sampai Rp 40 ribu. Paling strateginya pakai angkutan umum lebih banyak,” kata Ika.
Apa yang menyebabkan harga Pertamax naik?
PT Pertamina Patra Niaga mengatakan kenaikan Pertamax dipicu oleh melonjaknya harga minyak dunia yang mendorong harga minyak mentah Indonesia mencapai US$ 114,55 (Rp1,64 juta) per barel pada 24 Maret 2022.
Kondisi ini dapat memberikan tekanan pada keuangan Pertamina, sehingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi tidak dapat dihindari. Konsumsi pertamax sendiri hanya berkisar 14%, jauh lebih kecil dibandingkan konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai 83%.
Irto mengatakan kenaikan harga Pertamax saat ini masih lebih rendah dari harga yang seharusnya, yakni bisa mencapai Rp. 16.000 per liter.
“Pertamina menilai daya beli masyarakat, harga Pertamax tetap lebih kompetitif di pasaran atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lain. Ini baru dilakukan dalam tiga tahun terakhir sejak 2019,” jelas Irto melalui pesan tertulis.
Terkait keluhan masyarakat tentang kelangkaan Pertalite, Irto mengaku hanya terjadi di beberapa SPBU.
“Memang ini kami pantau. Dari segi stok, Pertalite kami aman dan kami distribusikan ke SPBU sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Kemampuan belanja orang mengurangi
sumber gambar, ANTARA FOTO
Ekonom INDEF Eko Listyanto mengatakan kenaikan harga Pertamax “cukup vital” karena momentumnya bertepatan dengan kenaikan harga pangan dan PPN.
Situasi ini dinilai cukup melanda masyarakat, padahal pengguna Pertamax biasanya kalangan menengah.
Karena itu, Eko meminta Pertamina mengantisipasi efek domino akibat kenaikan harga Pertamax, yakni kelangkaan Pertalite.
Jika kelangkaan Pertalite tidak dapat dicegah, dampak ekonomi terhadap kelas menengah ke bawah akan semakin terasa.
“Kelas menengah juga banyak yang mengkonsumsi ini, yang cenderung turun ke kelas bawah, jadi mungkin akan banyak. pergeseran terjadi. Pertamina harus memastikan stok tersedia, sehingga tidak ada demonstrasi, meskipun ini hanya salah satu aspek energi, itu vital,” kata Eko.
Di sisi lain, Eko memahami kenaikan harga Pertamax tidak bisa dihindari, apalagi menjelang mudik Lebaran dimana mobilitas masyarakat meningkat dan pasokan bahan bakar harus tetap terjaga.
Ketersediaan pasokan bahan bakar terancam bermasalah jika penyesuaian harga tidak segera dilakukan.
Namun, dia menyayangkan pemerintah tidak menunda kebijakan lain, seperti kenaikan PPN, di tengah situasi yang memberatkan masyarakat ini.
“Paling tidak PPN ditunda karena bisa dikontrol penuh oleh pemerintah. Tidak ada mafia, tidak ada faktor global seperti harga minyak, hanya pembayaran pajak yang dikurangi,” katanya.
“Kalau PPN terus naik, APBN naik, tapi di sisi lain, kemampuan belanja masyarakat berkurang karena banyak harga yang naik. Ini saling membatalkan. Dengan semua kenaikan itu, masyarakat tidak akan belanja terlalu banyak,” kata Eko.