sumber gambar, ANTARA FOTO/PUSPAPERWITASARI
Selebriti wanita transgender, Dorce Gamalama, meninggal dunia di usia 58 tahun, Rabu (16/02).
Salah satu kerabat Dorce, Hetty Soendjaya mengatakan, Dorce meninggal karena terinfeksi Covid-19 sehingga akan dimakamkan sesuai protokol Covid-19.
“Jadi meninggal karena Covid. Jadi tidak dibawa pulang, jadi dikemas di rumah sakit,” kata Hetty Soendjaya, dikutip dari Detik.com.
Sebelumnya dikabarkan Dorce telah menyampaikan keinginan untuk diperlakukan sebagai perempuan ketika meninggal, yang memicu polemik.
Lewat perbincangan di akun Youtube Denny Sumargo, Dorce mengaku sudah menjadi perempuan.
sumber gambar, Kompas.com
Berdasarkan penelusuran BBC News Indonesia melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung, identitas gender Dorce juga telah diakui secara hukum oleh pengadilan.
Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permintaan ganti kelamin dari Dedi Yuliardi Ashadi menjadi Dorce Ashadi atau lebih dikenal dengan Dorce Gamalama pada tahun 1980.
Namun, pernyataan Dorce mengundang komentar dari sejumlah tokoh agama.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Cholil Nafis, melalui akun Twitter-nya mengatakan, jenazah seorang transgender “diperlakukan sesuai jenis kelamin dan asalnya”.
Pandangan berbeda datang dari Rektor Institut Studi Islam Fahmina — lembaga pendidikan Islam yang fokus pada kajian gender dan hak asasi manusia — Dr KH Marzuki Wahid. Ia mengatakan, putusan pengadilan mengenai identitas gender seseorang dapat menjadi acuan yang sahih untuk menentukan syariat Islam yang berlaku bagi dirinya.
Sementara itu, salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Taufik Damas, berpendapat bahwa keputusan Dorce merupakan keputusan pribadinya yang tidak perlu diganggu gugat karena “akan dipertanggungjawabkan olehnya di hadapan Tuhan.
“Apalagi ada rujukan medis dan ada keputusan hukum dari pengadilan, dia lebih berhak menentukan bagaimana dia akan diperlakukan ketika dia meninggal, wajar dia membuat wasiat seperti itu,” kata Taufik kepada BBC News Indonesia. .
Bagi seorang transgender yang tinggal di Depok, Jawa Barat, Audi Manaf, perdebatan identitas gender Dorce “sangat menyedihkan” dan “melanggengkan stigma” bahwa transgender “melanggar kodrat”.
BBC News Indonesia telah menghubungi Dorce Gamalama, namun Dorce menolak untuk berbicara lebih jauh mengenai hal ini.
‘Kami semakin buruk dalam hal agama, kami dianggap tidak layak’
sumber gambar, YAYA ULYA UNTUK BBC NEWS INDONESIA
Santri di Pondok Pesantren Al-Fatah Yogyakarta belajar mengaji.
Bagi Audi, apa yang terjadi pada Dorce menunjukkan bahwa waria masih melekat pada stigma “melanggar kodrat, penuh dosa, dan melanggar aturan Tuhan”.
“Hal ini semakin menguatkan bahwa kami semakin terpuruk dalam hal agama, kami dianggap tidak layak, dan perdebatan tersebut hanya memperburuk stigma masyarakat terhadap kami,” kata Audi kepada BBC News Indonesia.
Menurutnya, perdebatan identitas gender tidak perlu terjadi. Apalagi Dorce sudah punya aturan hukumnya.
“Hak waria dari lahir sampai mati dirampas,” katanya.
“Mereka tidak melihat transgender sebagai bagian dari manusia, tetapi sebagai kelainan alami, melanggar aturan Tuhan, mereka tidak kembali bahwa pilihan ada di tangan kita. Kita yang menjalaninya.”
Di kalangan komunitas transgender sendiri, Audi mengatakan banyak yang ingin dikubur sesuai identitas gendernya. Namun sebagian besar keinginan tersebut tidak bisa diwujudkan.
“Meskipun dia pernah meminta wasiat bahwa jika suatu saat dia meninggal dia ingin berpakaian (sebagai wanita), dia akan kalah dengan permintaan keluarga,” jelas Audi.
Menurutnya, keluarga seringkali tidak mau dibicarakan oleh masyarakat setempat mengenai identitas gender anggota keluarganya.
Ada juga penolakan dari masyarakat setempat untuk mengurus jenazah waria yang meninggal di luar negeri.
“Kalau ditolak seperti itu ya kita yang ujung-ujungnya mandi, mengubur,” ujarnya.
Seolah, kata Audi, diskriminasi yang dihadapi waria untuk mendapatkan hak atas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan yang layak sepanjang hidupnya masih belum cukup.
Pendapat berbeda datang dari Lenny Sugiharto yang merupakan pendiri Yayasan Srikandi Sejati. Sebagai seorang Muslim, Lenny berpandangan bahwa jenazah harus digendong “kembali ke alam”.
“Kalau seperti saya belum pernah operasi, ya sudah kembali lagi sebagai laki-laki. Yang penting di dunia ini kita nyaman, keberadaan kita diakui ya, tapi soal kematian sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. ,” kata Leny.
Bagaimana tanggapan MUI?
sumber gambar, YAYA ULYA UNTUK BBC NEWS INDONESIA
Ketua MUI Pusat Cholil Nafis mengatakan wasiat waria kepada ahli warisnya tidak wajib karena “melanggar syariah”.
Menurut Cholil, Islam tidak mengenal perubahan gender kecuali atas dasar kelainan medis. Oleh karena itu, pengorganisasian tubuh waria harus dilakukan “sesuai dengan kodratnya”.
“Ikuti jenis kelamin awal, toh yang mati tidak akan protes. Jika mengikuti wasiat, maka dosa. Wasiat bisa dilakukan jika tidak melanggar syariat,” kata Cholil melalui rekaman video yang dibagikannya. dengan BBC News Indonesia.
Cholil juga mengatakan bahwa para ulama memiliki kewajiban untuk mengingatkan mereka dalam hal ini agar tidak melanggar hukum Allah.
“Kalau konteks waria dibenarkan atas nama fitrah, tidak bisa. Tuhan yang memberikan kepada kita,” kata Cholil.
Mengacu pada identitas gender yang ditetapkan oleh pengadilan
sumber gambar, BBC Indonesia
Marzuki Wahid
Rektor Institut Kajian Islam Fahmina, Marzuki Wahid, mengatakan putusan pengadilan terkait identitas gender seseorang dapat dijadikan acuan untuk menentukan syariat Islam yang berlaku bagi dirinya.
Hal ini tidak hanya menyangkut pengurusan jenazah, tetapi juga dalam hal-hal lain seperti pelaksanaan haji.
Selama ini, Hukum Fiqih Islam melihat identitas gender berdasarkan dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun perlu ada pertimbangan kasuistik dalam melihat hal ini, karena kenyataannya ada orang yang mengalami disforia gender yang tidak mereka inginkan.
Disforia gender adalah suatu kondisi dimana seseorang merasa identitas gendernya tidak sesuai dengan gender yang dimilikinya.
Dalam kasus seperti itu, keputusan pengadilan dapat menjadi referensi yang valid untuk identitas gender mereka.
“Kita tidak bisa menghukum diri sendiri, jadi pengadilan yang memutuskan, karena pengadilan tidak mengesampingkan. Ada pertimbangan medis, psikologis, dan sosial juga,” kata Marzuki.
“Kalau sudah ditentukan pengadilan, maka tidak hanya berlaku ketika meninggal, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupannya ketika menunaikan haji misalnya,” sambungnya.
Namun selama ini belum pernah ada pembahasan yang serius pada tataran fiqih mengenai hal ini, sehingga wajar jika terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama sendiri.
“Memang ada dua pandangan. Menurut saya, silakan saja, menurut keyakinan masing-masing. Itu diterima atau tidak, Allah yang lebih tahu,” kata Marzuki.
Namun, Marzuki menegaskan hal ini tidak berlaku untuk identitas gender yang hanya mengandalkan “pengakuan”.
Kenyataan menjadi lebih kompleks mengingat tidak semua orang yang mengalami disforia gender mampu menegaskan identitas gendernya, menjalani operasi genital, dan mengajukan permohonan ke pengadilan.
Salah satu tokoh agama dari Nahdlatul Ulama, Taufik Damas, mengatakan kewenangan ulama dalam hal ini hanya sebatas ranah ilmu, namun keputusan seorang waria adalah urusan pribadi dengan Tuhan.
“Normalnya memang laki-laki itu lahir, kalau meninggal diperlakukan seperti perempuan. Tapi tidak perlu komentar berlebihan, tidak perlu hinaan dan caci maki,” kata Taufik.
Anda mungkin juga ingin menonton:
Deskripsi Video,
Pengalaman pria trans Muslim mencari penerimaan: ‘Saya bukan wanita’