sumber gambar, ANTARA FOTO
Mahasiswa melakukan aksi menentang pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di depan Perumahan Rakyat II Waena, Jalan Raya SPG Taruna Bakti, Kota Jayapura, Papua, Selasa (8/3/2022).
Gelombang penolakan wacana pemekaran atau daerah otonom baru (DOB) di Papua diprediksi akan semakin besar dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal jika pemerintah pusat secara sepihak memaksakan wacana tersebut, kata aktivis kemanusiaan.
Saat ini, DPR dan pemerintah sedang melakukan harmonisasi dan sinkronisasi gagasan pemekaran untuk tiga provinsi baru, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Pegunungan Tengah, serta kabupaten baru.
Demonstrasi yang berlangsung di berbagai tempat dikatakan terjadi karena Jakarta tidak melibatkan orang asli Papua dalam pembahasan rencana pemekaran.
Tidak dilibatkannya masyarakat asli Papua dalam perencanaan wacana akan menyebabkan mereka semakin terisolasi dan tertinggal. Ditambah lagi berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat asli Papua dengan alam, dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Namun, klaim tersebut dibantah oleh pemerintah.
Kemarin, Selasa (16/03) aksi unjuk rasa menentang DOM dan kerusuhan di Kabupaten Yahukimo mengakibatkan dua orang tewas ditembak aparat keamanan, dua luka-luka dan satu kritis.
Polisi mengatakan bahwa petugas terpaksa mengambil tindakan tegas karena massa melakukan perusakan dan pembakaran serta menyerang petugas polisi.
Sementara itu, peserta demonstrasi mengatakan konflik dipicu oleh tindakan aparat keamanan yang memotret para demonstran.
Selain Yahukimo, protes terhadap DOB juga terjadi di berbagai tempat dalam sepekan terakhir.
Serangkaian demonstrasi yang menewaskan dua orang
sumber gambar, Dermaga. Kepolisian Papua
Demonstrasi menentang DOB di Yahukimo, Papua menelan korban jiwa dan kebakaran fasilitas, Selasa (15/03).
Gelombang unjuk rasa di berbagai tempat menentang wacana pemekaran dan daerah otonom baru (DOB) di Papua terjadi dalam sepekan terakhir.
Selasa, (08/03), ratusan mahasiswa berunjuk rasa di Kota Jayapura, Papua, menentang rencana pemekaran provinsi di Papua. Pasukan keamanan terpaksa menggunakan gas air mata untuk membubarkan para demonstran.
Dua hari kemudian, Kamis (10/03), ratusan orang kembali menggelar aksi unjuk rasa di Kota Wamena, dengan tuntutan yang sama.
Tak henti-hentinya, Jumat (11/03), puluhan mahasiswa Papua melakukan aksi di dekat Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Aksi yang berakhir ricuh itu mengakibatkan lima anggota polisi luka-luka. Di Paniai juga, masyarakat berkumpul untuk menolak wacana DOB pada Senin (14/03).
Terakhir, Selasa (15/03) lalu, aksi unjuk rasa menentang DOB di Yahukimo mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan fasilitas.
sumber gambar, Dermaga. Kepolisian Papua
Demonstrasi menentang DOB di Yahukimo, Papua menelan korban jiwa dan kebakaran fasilitas, Selasa (15/03).
Dua orang dari aksi massa tewas akibat tembakan, dua orang luka-luka, satu orang meninggal dunia, serta seorang petugas yang menjadi korban polisi.
Ketua Solidaritas Pemuda Peduli Yahukimo (Soppy), Otniel Sobolim yang menyaksikan kejadian tersebut mengatakan, kerusuhan tersebut dipicu oleh tindakan aparat yang memancing emosi massa.
“Kemarin sebenarnya berjalan lancar dan normal, tidak ada keheningan di ruang demokrasi oleh aparat keamanan. Pemicunya hanya masalah sepele, beberapa petugas polisi mengambil foto, gambar (dengan ponsel), saat pembacaan pernyataan demonstran, ” kata Otniel saat dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (16/03).
Aksi tembak-menembak itu ditolak massa karena, “kalau memotret, berdasarkan pengalaman sebelumnya, polisi akan mencari mereka, makanya massa sensitif di sana. Lalu terjadi adu mulut.”
“Cepat terjadi kontak fisik dan lemparan serta tembakan gas air mata sebagai balasannya, hingga akhirnya ada korban jiwa, dua orang meninggal dunia,” ujarnya yang hadir dalam aksi tersebut sebagai peserta.
Sedangkan menurut versi polisi, aksi unjuk rasa damai yang berakhir dengan huru hara dan pembakaran tersebut dipicu oleh friksi dari masyarakat dan ditambah dengan provokasi.
“Yang kami ketahui korban yang meninggal akibat luka tembak mengatasnamakan Yakop Deal dan Erson Weipsa. Masih ada warga yang mengalami luka tembak di bagian paha yaitu Etos Itlay dan Luki Kobak,” kata Kabag Humas Papua. Polisi, Kombes Pol. Ahmad Mustofa Kamal.
Kamal menambahkan, polisi akan mengirimkan dua peleton Brimob ke Yahukimo untuk mencegah kerusuhan lebih lanjut.
Orang asli Papua akan diasingkan
sumber gambar, ANTARA/INDRAYADI TH
Seorang perempuan menunggu pengunjung di halaman Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), Jayapura, Papua, Jumat (29/10/2021).
Otniel Sobolim mengatakan unjuk rasa berpotensi memanas, bahkan tegang, di Yahukimo, hingga Papua, jika pemerintah pusat tetap mengambil keputusan sepihak terkait DOB, tanpa melibatkan masyarakat asli Papua.
“Karakter masyarakat di sini, mereka akan merasa sangat tidak dihargai jika tidak ada penegasan, penyebarluasan atau penyaluran aspirasi suara mereka, sangat tidak dapat diterima,” ujarnya seraya menambahkan hingga saat ini belum ada sosialisasi antara masyarakat dengan masyarakat. pemerintah dalam membahas rencana daerah otonom baru.
Kepala Suku Kimyal di Yahukimo, Nopius Yalak, mengatakan mayoritas masyarakat akar rumput di Yahukimo yang terdiri dari 12 suku menolak rencana pemekaran wilayah.
“Karena 20 tahun otonomi khusus di Papua belum mampu mensejahterakan masyarakat asli Papua, hanya elit politik. Kalaupun ada pemekaran dan otonomi baru, tidak akan berdampak pada masyarakat asli Papua.
“Dalam 20 tahun Otsus Papua, masyarakat tidak mengalami perubahan dalam kehidupan, pendidikan, kesehatan, ekonomi. Sehingga masyarakat menolak Otsus jilid II, sehingga terjadi demonstrasi dan korban jiwa,” ujarnya.
Alasan lain, kata Nopius, pemekaran (munculnya kabupaten baru) akan merusak tatanan kehidupan masyarakat dengan alam, dari segi ekonomi, sosial dan budaya.
“Rata-rata orang asli Papua, warga desa di sini tidak sekolah dan bergantung pada alam. Dengan hadirnya kabupaten baru ini, mereka tidak akan duduk di birokrasi, pendatang baru akan masuk dan menguasai kami,” ujarnya.
Dilaporkan Nopius, Rabu (16/03), kondisi di Yahukimo saat ini kondusif dan pemakaman kedua jenazah sedang berlangsung.
Senada dengan itu, ketua mahasiswa Yahukimo Yanis Soll mengatakan pemekaran berpotensi mengasingkan orang asli Papua dari tanah airnya.
“Kondisi di desa-desa saat ini penduduknya sedikit, hampir punah, mereka pergi ke kota dan mati karena penyakit sosial. Jika diperluas, akan banyak imigrasi yang tinggal di sini, dan kami masyarakat adat akan terisolir dan terpinggirkan di tanah kami,” katanya. .
Untuk itu, dia meminta pemerintah melakukan pendataan secara riil, daerah mana yang layak untuk diperluas dan mana yang tidak.
“Memang ada daerah yang bisa dimekarkan, bisa satu atau dua kabupaten, sesuai kebutuhan, tapi ada juga yang tidak. Untuk itu kita perlu melibatkan masyarakat, tidak sepihak dari pusat.
“Kalau sepihak, berpotensi menimbulkan penolakan dari masyarakat, maka akan muncul konflik sosial, pengerahan petugas, dan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Potensi gelombang protes yang lebih besar
sumber gambar, JURNASYANTO SUKARNO/GREENPEACE
masyarakat asli Papua.
Menurut Direktur ELSAM Papua, Matheus Adadikam, gelombang aksi perlawanan terjadi karena proses pembahasan DOB yang tidak merata – dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat, tanpa melibatkan masyarakat.
“Jakarta sepertinya memaksakan hal ini terjadi, padahal di masyarakat sendiri masih banyak pekerjaan rumah dari Otsus masa lalu yang belum selesai dan dievaluasi,” ujarnya.
“Di Papua, masalahnya terlalu banyak talingkar (rumit). Jadi kalau dipaksakan akan semakin rumit dan sulit ditangani,” kata Matheus.
Matheus menilai, jika Jakarta terus memberlakukan DOB tanpa partisipasi masyarakat asli Papua, berpotensi menimbulkan gelombang protes yang lebih besar.
“Kalau protes semakin besar, maka polisi akan turun, konflik akan terjadi lagi, masyarakat akan terpecah dan menjadi korban. Akhirnya akan terjadi konflik horizontal dan pelanggaran HAM,” katanya.
Untuk itu, tambah Matheus, solusinya adalah dengan mengajak masyarakat asli Papua untuk duduk bersama membahas jalan terbaik, bukan dengan paksaan.
“Masyarakat Papua menurut hukum adat ada tujuh wilayah adat. Libatkan semua perwakilan. Carilah keputusan bersama yang disepakati agar masyarakat bisa menerimanya dengan baik,” katanya.
Apa alasan DOB penting bagi Papua?
sumber gambar, STAF BAJA/AFP/GETTY GAMBAR
Anak-anak pengungsi dari Kabupaten Nduga, Papua, sedang belajar di sekolah darurat yang dibangun LSM di Wamena pada Februari 2019.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan, usulan pemekaran di Papua didasarkan atas permintaan masyarakat Papua, mulai dari pertemuan pimpinan Papua dengan presiden hingga pertemuan pemerintah dengan seluruh bupati di daerah calon otonomi baru.
“(Jumat kemarin, 11 Maret) kami berkumpul dengan seluruh bupati di daerah-daerah yang akan menjadi calon otonomi baru. Bupati mengatakan bahwa ini (pemekaran) kebutuhan mendesak yang harus dilakukan.
“Hal ini untuk mengurangi akses jarak jauh ke layanan pemerintah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua,” kata Direktur Perencanaan Daerah, Otonomi Khusus dan DPOD Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito.
Jadi, Valentinus menegaskan bahwa rencana ini tidak semata-mata berasal dari keputusan sepihak pemerintah pusat. “Sebaliknya Pak Presiden sangat memenuhi keinginan rakyat Papua,” imbuhnya.
sumber gambar, Antara Foto
Presiden Jokowi menerima sedikitnya 61 tokoh Papua di Istana Negara, Jakarta, 10 September 2019.
Mengenai ketakutan masyarakat asli Papua yang akan terpinggirkan oleh perpecahan ini, Valentinus menegaskan hal itu tidak akan terjadi karena UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah memberikan perlindungan yang kuat dan tegas.
Valentinus juga menambahkan, pemerintah telah menyampaikan kepada para bupati di wilayah Pegunungan Tengah untuk mempersiapkan dan menginventarisasi PNS asli Papua untuk didistribusikan ke DOB.
“Ada juga masukan dari Bupati Puncak terkait pengadaan formasi PNS untuk orang asli Papua sebanyak 2000 orang, dan usulan ini kami fasilitasi. Jadi kalau ada ketakutan orang asli Papua tidak akan dimanfaatkan dan mendatangkan orang dari di luar, saya pikir pernyataan itu tidak benar,” katanya.
sumber gambar, Reuters
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menunjukkan proyek jalan Trans Papua.
Anggota Pansus Otonomi Khusus Papua DPR, Guspardi Gaus, mengatakan saat ini wacana tentang pemekaran Papua baru sebatas wacana dan belum dibahas.
Ide tersebut, kata dia, datang dari unsur masyarakat Papua, pemerintah daerah Papua, dan amanat UU Otsus Papua, sehingga DPR kemudian menggagasnya.
“Saat ini Komisi II dalam proses pemekaran, kami sedang melakukan harmonisasi dan sinkronisasi rencana pemekaran tiga DOB di Papua,” ujarnya.
Guspardi menjelaskan, tujuan pemekaran adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat di tengah geografi alam yang begitu luas.
“Agar percepatan pembangunan, infrastruktur, kesejahteraan, kesehatan, ekonomi terjadi di Papua,” ujarnya.