sumber gambar, Gambar Getty
Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan pidato pada Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, (01/11).
Aktivis lingkungan mengatakan potensi laju deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia akan meningkat di masa mendatang.
Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur yang masif di kawasan hutan, terutama di kawasan timur Indonesia, ditambah regulasi yang mempermudah pembukaan hutan.
Dampaknya, jika dibiarkan, akan meningkatkan bencana ekologis di berbagai wilayah seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, dan kekeringan.
Pernyataan tersebut berbeda dengan yang diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (11/1) lalu.
Jokowi mengatakan laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.
Kemudian, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) turun sebesar 82% pada tahun 2020. Di sisi lain, Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 dan 2019.
Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove dengan target 600.000 hektar pada tahun 2024, terbesar di dunia.
BBC News Indonesia mewawancarai beberapa aktivis lingkungan untuk mengecek fakta pernyataan Jokowi dengan apa yang mereka temukan di lapangan.
‘Deforestasi meningkat, tidak berkurang secara signifikan’
sumber gambar, Gambar Getty
Ini adalah foto hutan di Timika, Papua yang hangus akibat penambangan emas pada tahun 2017.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di Indonesia meningkat dari sebelumnya 1,1 juta hektar per tahun pada periode 2009-2013, menjadi 1,47 juta hektar per tahun untuk periode 2013-2017.
“Jadi klaim pengurangan deforestasi dari 20 tahun terakhir, menurut saya, terlalu berlebihan,” kata Direktur Eksekutif FWI Mufti Barri.
Mufti menambahkan, sejak 2017 hingga sekarang, deforestasi memang menunjukkan tren penurunan, namun bukan karena campur tangan pemerintah, melainkan karena sumber daya hutan telah habis – seperti di Sumatera dan Jawa.
“Sementara di wilayah yang memiliki hutan luas, terutama di wilayah timur, seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, terjadi peningkatan,” kata Mufti.
Selain perubahan lingkungan, penggundulan hutan, tambah Mufti, akan menimbulkan bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran, dan kekeringan, terutama karena karakter hutan Indonesia yang tersebar di sejumlah wilayah.
“Jika 70% hutan di sebuah pulau rusak, semuanya hancur, dari alam hingga manusia,” katanya.
Demikian juga menurut data Greenpeace Indonesia, deforestasi meningkat dari sebelumnya 2,45 juta hektar selama periode 2003-2011 menjadi 4,8 juta hektar selama 2011-2019 – termasuk pada periode pertama kepemimpinan Jokowi dari 2014-2019.
sumber gambar, AFP
Deforestasi di Papua, menurut catatan Forest Watch Indonesia, lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.
Pada tahun berikutnya hingga saat ini, menurut Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, terjadi tren penurunan deforestasi, namun tidak sepenuhnya karena upaya pemerintah.
“2019 tahun politik, tahun berikutnya masuk pandemi Covid-19 sehingga terjadi penurunan aktivitas industri termasuk deforestasi. Memang benar penurunan itu terjadi tapi tidak sebesar yang dikatakan, bahkan memecahkan rekor. ,” dia berkata.
Laju deforestasi di Papua
Mufti dan Leonard sepakat bahwa laju deforestasi berpotensi meningkat signifikan di masa mendatang karena pembangunan infrastruktur fisik di sekitar kawasan hutan dan regulasi yang memudahkan pemberian izin masuk hutan.
“Pembangunan infrastruktur jalan di Papua, Maluku dan daerah lainnya, laju deforestasi tinggal menunggu waktu saja, akan meningkat signifikan ke depan,” kata Mufti.
sumber gambar, Gambar Getty
Kawasan Taman Nasional Ekosistem Leuser, dengan perkebunan kelapa sawit di dalamnya.
“UU Minerba, Omnibus Law, dan lain-lain menghapus perlindungan lingkungan yang sebenarnya tidak terlalu kuat. Pemerintah terlalu banyak memberi ruang bagi kepentingan ekonomi politik para oligarki yang menguasai batu bara dan sawit,” kata Leonard.
Sebelumnya, pada KTT COP26, Jokowi mengatakan bahwa laju deforestasi telah turun secara signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, yang juga hadir dalam pertemuan itu, mengatakan di akun Twitter-nya, “Indonesia berkomitmen dan menjanjikan hal-hal yang secara realistis dapat dilakukan. Kami tidak akan menjanjikan apa yang tidak dapat kami lakukan.”
Pada 2015-2016, laju deforestasi Indonesia mencapai 629.200 hektar.
“Penurunan 75% laju deforestasi selama periode 2019/2020 adalah bukti, bukan persepsi. Ini hasil kerja keras kami agar laju deforestasi bisa ditekan hingga titik terendah sepanjang sejarah,” ujar Plt. Direktorat Jenderal Perencanaan Kehutanan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman.
Perbedaan laju deforestasi antara FWI dan KLHK.
Perbedaan laju deforestasi antara WFI, Greenpeace dan KLHK disebabkan oleh perbedaan metode dan definisi terkait hutan.
FWI mendefinisikan deforestasi sebagai area yang hilang akibat deforestasi, tanpa dikurangi dengan reboisasi dan diambil menggunakan citra satelit.
Sedangkan versi KLHK, angka deforestasi yang ditampilkan setelah deforestasi bruto dikurangi dengan reboisasi atau reboisasi yang mencakup baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia.
Kebakaran hutan turun 82%, ‘pengaruh iklim’
sumber gambar, AFP
Petugas pemadam kebakaran berusaha menjinakkan api di sebuah ladang di Desa Rambutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 11 September 2019.
Selain deforestasi, Presiden Joko Widodo juga mengklaim kebakaran hutan pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar 82% dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Mufti Barri, pernyataan itu benar, tapi tidak adil. “Pada tahun 2019 terjadi El Nino yang mengakibatkan kekeringan dan kebakaran yang meluas. Harus dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
“Jika dibandingkan tahun 2017 mengalami peningkatan, dan dibandingkan tahun 2020 sedikit menurun. Sehingga belum ada upaya maksimal yang terbukti berhasil mengurangi kebakaran hutan dan lahan secara signifikan,” kata Mufti.
Kebakaran hutan di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan tahun 2016 sekitar 438 ribu hektar, kemudian tahun 2017 sekitar 165 ribu hektar, tahun 2018 sekitar 529.000 hektar, tahun 2019 melonjak menjadi 1,6 juta hektar, pada 2020 menjadi 296.000 hektar dan pada 2021 menjadi 229.000 hektar.
Sementara itu, Leonard dari Greenpeace menilai 229.000 hektar merupakan wilayah yang luas – setara dengan empat kali luas DKI Jakarta.
“Kalau masih ratusan ribu itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan, apalagi tahun lalu dan sekarang tahun basah, hujan, dan ada pandemi yang menghentikan industri, tetapi kebakaran masih saja terjadi,” kata Leonard.
Petugas pemadam kebakaran, relawan, dan warga biasa bahu membahu memadamkan api di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
“Sulit bagi Indonesia untuk berharap bebas dari kebakaran hutan tahunan dalam waktu dekat, karena pemerintah masih permisif dalam memberikan konsesi kepada industri yang menggarap lahan gambut,” tambahnya.
Penelitian Greenpeace Indonesia baru-baru ini mengungkapkan bahwa hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di tujuh provinsi prioritas untuk restorasi gambut berada pada tingkat kritis karena penggunaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit skala besar.
Rehabilitasi hutan mangrove 600.000 hektar, ambisius?
sumber gambar, Gambar Getty
Sebagian hutan mangrove terlihat rusak akibat penebangan liar yang akan digunakan untuk membuka tambak baru udang dan ikan di Desa Pantai Bahagia, Kabupaten Muara Gembong, Provinsi Jawa Barat pada 13 Juni 2020.
Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia, yaitu lebih dari 3,4 juta hektar dan merupakan 22,4% dari ekosistem mangrove dunia.
Namun, menurut Leonard, lebih dari separuh atau sekitar 1,8 juta dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur dan lain-lain.
“Rencananya terdengar bagus, tetapi dibandingkan dengan jumlah yang rusak (tidak sepadan),” kata Leonard.
Manajer Program Ekosistem Laut Yayasan KEHATI Yasser Ahmed mengatakan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, komitmen pemerintah untuk merehabilitasi mangrove sekitar 50.000 hektar.
“Angka ini realistis berdasarkan sejarah RPJM sebelumnya. Jadi kami katakan 600.000 sangat ambisius jika dibandingkan dengan masa lalu,” kata Yasser.
Di sisi lain, laju kerusakan mangrove lebih besar daripada rehabilitasi yang dilakukan, padahal hutan ini memiliki kontribusi 4-5 kali lebih besar dalam menyerap karbon dibandingkan hutan terestrial.
“Pemerintah juga hanya fokus pada kegiatan penanaman pohon, padahal perlu didorong pendekatan ekonomi dan sosial masyarakat sekitar mangrove agar hutan ini tetap terlindungi,” ujarnya.
Sebelumnya, Jokowi mengatakan pemerintah telah merehabilitasi 600.000 hektar hutan mangrove hingga 2024 dan menjadi kawasan konservasi terbesar di dunia.
Kontradiksi antara pernyataan dan tindakan
sumber gambar, Gambar Getty
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (kanan) menyapa Presiden RI Joko Widodo saat tiba di hari kedua COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (11/1).
Sejak periode pertama hingga saat ini, Jokowi dikatakan tidak cukup dalam membela kepentingan lingkungan dan iklim.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu Perdana mengatakan, upaya pemerintah, seperti moratorium izin konsesi hutan primer dan gambut serta moratorium kelapa sawit, tidak masuk akal. sejalan dengan revisi UU Minerba dan Omnibus Law yang mempermudah penguasaan hutan.
“Perlindungan kawasan hutan telah terabaikan oleh Omnibus law. Pertama, batas minimal kawasan hutan, yang katanya 30%, kini sudah dihilangkan.
“Kemudian, perkebunan kelapa sawit yang termasuk dalam ekosistem gambut dan hutan mendapatkan pemutihan kejahatan dan diberikan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan masalah administrasi,” katanya.
Padahal, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat 2,7 juta hektare kebun sawit yang berada di kawasan hutan secara ilegal.
“Kemudian dari penegakan hukum, setoran kemenangan pemerintah lebih dari Rp 18 triliun, tetapi kurang dari 10% dieksekusi baik untuk biaya pemulihan maupun kerugian lingkungan, padahal sudah menang. Sayankrachtdi pengadilan. Tidak ada upaya serius dari negara,” kata Wahyu.
Salah satu contohnya adalah putusan Mahkamah Agung tentang kebakaran hutan dan lahan di Kalteng yang belum dilaksanakan oleh pemerintah, tambah Wahyu.