sumber gambar, AFP
Usulan kenaikan biaya haji menjadi Rp45,05 juta pada 2022 itu ‘tidak pantas dan sangat memberatkan calon jemaah haji’ di tengah situasi ekonomi yang masih lesu akibat pandemi, kata Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah Mustolih Siradj.
Meski di satu sisi, lembaga pemantau haji independen mengakui kenaikan biaya haji ‘tak terelakkan’ karena situasi pandemi membuat sejumlah komponen biaya ikut meningkat.
“Soal biaya haji yang naik turun ini dilematis, simalakama. Kenaikannya sangat tinggi, jamaah terbebani, tapi kalau tidak naik juga kurang bijak karena akan menekan pengelolaan keuangan jamaah. haji,” kata Mustolih kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/2).
Kemenag mengatakan faktor utama di balik kenaikan itu adalah biaya protokol kesehatan.
Usulan kenaikan iuran tersebut sebelumnya disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam rapat kerja dengan DPR RI, Rabu (16/2).
Kenaikan mencapai Rp. 10 juta jika dibandingkan dengan terakhir kali Indonesia mengirim haji pada 2019.
Kenaikannya bisa dibilang signifikan dalam dua tahun terakhir, karena data menunjukkan rata-rata kenaikan biaya haji reguler tahun 2012 hingga 2019 kurang dari Rp. 1 juta per tahun, bahkan menurun.
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama Subhan Cholid mengatakan biaya protokol kesehatan yang mengharuskan jemaah dikarantina dan diuji PCR menjadi penyumbang utama kenaikan biaya tersebut.
Sementara itu, di tengah menunggu kepastian keberangkatan, beberapa calon jemaah haji mengaku harus memutar otak mencari uang tambahan jika kenaikan biaya begitu signifikan.
Kemenag sendiri menyebut potensi kenaikan biaya tersebut belum berdampak pada minat jemaah haji untuk berangkat, meski pada 2020 sebanyak 2.000 hingga 3.000 jemaah menarik biaya yang mereka setorkan untuk kebutuhan di tengah pandemi.
Keberatan calon jemaah haji
sumber gambar, Reuters
Salah satu calon jemaah haji asal Sumbar, Ulfah Mahdayulita, 55, mengaku keberatan jika tambahan biaya haji yang harus ia bayarkan mencapai Rp. 10 juta.
Ulfah merupakan calon jemaah haji yang seharusnya berangkat pada 2020, namun tertunda karena pandemi. Ia merupakan salah satu calon jemaah haji yang berpeluang berangkat tahun ini jika Arab Saudi kembali membuka akses haji bagi Indonesia.
Ulfah terdaftar sejak 2011 melalui skema dana talangan haji dari bank syariah dengan nilai Rp. 25 juta.
Sambil menunggu waktu keberangkatannya, Ulfah mencicil biaya keberangkatan hajinya melalui bank.
Ia juga sudah menyiapkan selisih biaya yang harus dibayarkan tergantung besaran biaya haji yang ditetapkan pemerintah pada tahun keberangkatannya. Di awal tahun 2020, sebelum Indonesia dilanda pandemi, Ulfah membayar biaya pelunasan sebesar Rp8 juta.
Sejak saat itu, Ulfah yang berprofesi sebagai guru fokus menabung untuk kebutuhan di Tanah Suci. Ia mengaku belum memperkirakan dan belum menyiapkan biaya tambahan seperti saat ini.
“Dulu harus tambah biaya, sudah tahu dari awal mendaftar, sudah standby jadi bisa menabung, kalau tiba-tiba rusuh,” kata Ulfah saat dihubungi.
Dia berharap pemerintah bisa mensubsidi kenaikan biaya tersebut. Pasalnya, sebagian anggota keluarga besarnya yang juga calon jemaah haji akan kesulitan untuk bertambah karena penghasilannya yang tidak tetap dan mereka yang terdampak pandemi sebagai pedagang dan petani.
“Selain itu dikatakan uang jemaah aman, uang kita disimpan dan dari tabungan ada biaya bagi hasil, tidak cukup untuk menutupi (selisih biaya) kami yang tertunda (keberangkatan)?” kata Ulfah.
Calon jemaah haji Sumbar lainnya, Irsih Yeni, 53, mengatakan hal yang sama dikatakan calon jemaah haji Sumbar lainnya, Irsih Yeni, 53, yang mengatakan kenaikan biaya itu memberatkan dirinya dan suaminya.
Yeni juga merupakan calon haji yang seharusnya berangkat pada tahun 2020. Namun, karena keinginannya untuk mengunjungi Tanah Suci begitu kuat, Yeni mengatakan bahwa dia mau tidak mau akan berusaha mencari biaya tambahan.
“Secara ekonomi memang memberatkan, tapi niat kami ke sana, jadi apapun usaha kami,” ujarnya.
Apa saja komponen dari kenaikan biaya?
sumber gambar, ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI
Sejumlah calon jemaah haji menjalani vaksinasi Covid-19 dosis ketiga di Pusdai, Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/2/2022)
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama Subhan Cholid mengatakan ada empat komponen yang membuat pemerintah mengusulkan kenaikan biaya haji menjadi Rp45 juta.
Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar meningkat dari sekitar Rp13.750 per US$1 baru-baru ini ke kisaran Rp14.300 hingga Rp14.500 per US$1.
Kedua, Arab Saudi mengenakan pajak 15% pada seluruh jemaah haji pada 2022, sedangkan pada 2019 nilai pajaknya hanya 5%.
Ketiga, kontribusi paling signifikan yaitu biaya protokol kesehatan. Subhan mengatakan, setiap jemaah haji harus menjalani karantina lima hari di Arab Saudi, kemudian lima hari karantina di Indonesia, serta tes PCR minimal enam kali.
“Tapi ini (karantina) sudah menjadi sesuatu yang dinamis, kalau nanti ketika biaya (haji) dibahas (di DPR) ternyata Arab Saudi sudah memutuskan tidak ada karantina, Indonesia juga tidak ada karantina, ini pasti akan menjadi komponen efisiensi yang sangat besar,” kata Subhan.
Komponen biaya keempat yang juga mengalami peningkatan adalah biaya visa dan Smart Card yang berkisar 300 Riyal (Rp 1,1 juta) pada 2019, kini menjadi 403 Riyal (Rp 1,5 juta) pada 2022.
Subhan mengakui kenaikan biaya ini bisa memberatkan calon jemaah haji, namun menurutnya kenaikan komponen tersebut perlu disampaikan dan diperhitungkan.
Pemerintah dan DPR masih punya waktu 60 hari untuk membahas komponen biaya sebelum menetapkan tarif haji tahun ini.
Antara lain, berapa yang akan dibebankan kepada jemaah, serta apakah pengembalian dana investasi haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPHK) dapat mengalokasikan dana untuk selisih kenaikan tersebut.
“Kami akan mendengar seluas-luasnya usulan masyarakat. Kami sangat memahami kondisi (pandemi) ini, tapi kalau biaya protokol kesehatan kita hilangkan, tapi masing-masing negara tetap melaksanakan lalu siapa yang tanggung? (Jemaat) tidak bisa. pergi. Itu perlu dibicarakan,” katanya.
Kenaikan biaya haji harus dilakukan secara bertahap
sumber gambar, ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam rapat dengan Komisi VIII di Gedung DPR RI, Jakarta.
Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengatakan pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat selama pandemi ini sebelum memutuskan kenaikan biaya haji yang signifikan.
“Kami melihat ciri-ciri masyarakat yang pendaftarnya tidak semuanya mampu dan berlebihan. Ada juga yang sudah puluhan tahun menabung atau sudah menjual hartanya untuk bisa menunaikan ibadah haji,” kata Mustolih.
Namun di sisi lain, jika pemerintah mengenakan biaya haji yang sama seperti sebelum pandemi, juga berisiko memberi tekanan pada keuangan haji.
Pasalnya, selama ini calon jemaah haji hanya membayar setengah dari biaya pelaksanaan haji yang sebenarnya. Misalnya, pada tahun 2019, biaya haji per jemaah adalah Rp 35,2 juta, tetapi biaya sebenarnya adalah Rp 70 juta.
Selisih biaya tersebut selama ini disubsidi dengan menggunakan dana investasi haji yang dikelola oleh BPKH.
Namun menurut Mustolih, banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa biaya pemberangkatan haji mereka telah disubsidi oleh pemerintah sehingga terjadi kenaikan biaya hingga Rp. 10 juta akan dianggap sangat memberatkan.
Dia menyarankan agar pemerintah terus menaikkan biaya haji secara bertahap untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaannya, namun harus dilakukan secara bertahap agar tidak mengejutkan calon jemaah haji.
“Kenaikannya tidak harus sampai 45 juta, tapi bertahap dengan melihat kemampuan jemaah dan kondisi sosial ekonomi saat ini, namun tidak terus membebani keuangan haji. Misalnya tarifnya 3-4 juta. ,” jelasnya.
Apakah kenaikan biaya bisa ditanggung oleh BPKH?
sumber gambar, AFP
Dengan masa tunggu haji yang mencapai belasan hingga puluhan tahun di Indonesia, setiap orang yang ingin mengambil slot harus menyetor dana sebesar Rp25 juta.
Dana dari calon jemaah haji yang sedang dalam masa tunggu tersebut kemudian dikelola oleh BPKH untuk diinvestasikan. Hingga tahun 2021, akumulasi dana yang dikelola BPKH telah mencapai Rp 158,88 triliun.
Mustolih Siradj mengatakan dana tersebut diinvestasikan oleh BPKH pada berbagai instrumen investasi, baik bank maupun non-bank. Hasil investasi tersebut kemudian digunakan untuk mensubsidi biaya penyelenggaraan haji setiap tahun.
Menurut Mustolih, subsidi berpotensi menjadi bom waktu yang terus tergerus akibat pandemi, serta risiko investasi di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu akibat pandemi.
“Dulu konsepnya ketika uang dikelola dengan baik dan membuahkan hasil dengan berbagai skema investasi, ketika orang menunggu keberangkatan, mereka tidak mengeluarkan uang lagi (untuk membayar selisihnya),” kata Mustolih.
“Namun target ini belum terealisasi karena imbal hasil tiap jemaah hanya maksimal 200 ribu per tahun. Itu karena sebagian biaya digunakan untuk mensubsidi haji yang sedang berjalan,” lanjutnya.
Subsidi dana haji yang terus menerus, sebutnya, ‘tidak sehat’ dan ‘bisa menekan pengelolaan keuangan haji’. Oleh karena itu, kenaikan biaya haji akibat komponen yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah Indonesia menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan untuk menjaga keseimbangan tersebut.
Pengamat haji dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dadi Darmadi, juga menyarankan agar BPKH ‘memainkan otaknya’ untuk mendapatkan keuntungan lebih.
“Saya kira masuk akal biaya haji akan lebih mahal, BPKH harus bisa memutar otak bagaimana mendapatkan keuntungan lebih, karena selama ini jemaah kita baru membayar setengah dari biaya yang sebenarnya,” katanya.
Bagaimana kepastian keberangkatan haji?
Meski sudah mulai menghitung biaya, Kementerian Agama menyatakan sejauh ini belum ada kepastian dari Arab Saudi terkait pelaksanaan haji.
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama Subhan Cholid mengatakan pihaknya terus melakukan komunikasi dengan pihak Saudi agar negara tersebut membuka kembali akses haji bagi jemaah haji Indonesia.
Sebab, selama dua tahun berturut-turut jemaah haji Indonesia gagal berangkat, sehingga masa tunggu menjadi lebih lama.
“Kami masih menunggu konfirmasi itu, tapi kami akan mulai menyiapkan beberapa skenario tergantung kuota yang akan dibuka pihak Saudi nanti,” kata Subhan.
Sementara calon jemaah haji seperti Irsi Yeni mengaku lelah menunggu konfirmasi. Koper yang ia kemas untuk haji tahun 2020 masih menunggu keberangkatan.
“Saya tidak keluarkan kopernya, jadi kalau mau keluar saya tinggalkan saja. Mungkin bajunya yang putih sudah menguning di sana, tapi pokoknya kami mau pergi, itu harapan kami,” kata Yeni.